Amnesty International minta Pemerintah Indonesia menghentikan penggunaan cambuk sebagai bentuk hukuman dan mencabut peraturan yang menerapkannya di Provinsi Aceh, setelah setidak-tidaknya 21 orang dihukum cambuk di depan umum sejak 12 Mei. Warga yang dicambuk tersebut ditemukan melanggar hukum syariah (qanun) Aceh yang melarang perjudian dan dijatuhi hukuman masing-masing enam cambukan sementara ratusan orang menontonnya.

Tampaknya pihak berwenang Aceh semakin meningkat dalam penggunaan hukum cambuk yang melanggar hukum internasional. Menurut laporan media setidak-tidaknya 16 kasus pria dan perempuan yang mengalami hukum cambuk di Aceh pada 2010. Sebagai tambahan hukum lokal Aceh yang memasukkan hukuman cambuk, Qanun Hukum Jinayat yang diloloskan oleh parlemen Aceh pada tahun 2009 juga memasukkan hukuman rajam batu hingga mati untuk zinah dan 100 kali cambuk bagi homoseksualitas.

Amnesty International menyerukan pada pemerintah pusat Indonesia untuk mengkaji semua hukum dan peraturan lokal untuk menjamin keselarasan mereka dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional, juga dengan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia dalam undang-undang domestik. Dewan perwakilan provinsi Aceh meloloskan serangkaian peraturan yang mengatur implementasi hukum Syariah setelah pengesahan Undang-undang tentang Otonomi Khusus di tahun 2001. Hukum cambuk diperkenalkan sebagai hukuman yang dijalankan oleh peradilan Islam untuk pelanggaran seperti zinah, konsumsi alkohol, pasangan dewasa yang berduaan tanpa kehadiran orang lain (khalwat) dan bagi banyak Muslim yang ditemukan makan, minum atau menjual makanan pada siang hari ketika saat puasa di bulan Ramadhan. Menurut Amnesty Internasional, hukuman cambuk melanggar Konvensi PBB melawan Penyiksaan, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1998. Ini perlu menjadi perhatian pemerintah karena saat ini Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB.